Senin, 15 November 2010

10 AKUNTAN TERLIBAT SKANDAL BLBI

          Istilah akuntan tailor made (pesanan), akuntan stempel, akuntan cap, sudah akrab di telinga masyarakat. Kini Indonesian Corruption Watch (ICW) mencoba membongkar permainan akuntan publik itu. Siapa saja akuntan publik yang berkolusi dengan bank bermasalah? Apa sanksinya? kredit macet, kredit fiktif, penggelembungan angka (mark-up) merupakan borok-borok perbankan di tanah air. Sudah rahasia umum, konglomerasi di Indonesia memiliki bank untuk menghimpun dana dari masyarakat. Dan, biasanya bank itu digunakan sebagai ’sapi perah’ bagi perusahaan dalam grup. Hal itu terjadi karena struktur kepemilikan perusahaan di Indonesia sebagian besar perusahaan keluarga. Berbeda dengan perusahaan di negara maju, misalnya Amerika Serikat. Disana, struktur kepemilikan perusahaan sudah terpisah.
          Karena di AS terpisah, maka peran akuntan publik menjadi penting untuk menjadi wasit antara manajemen dengan pemilik atau komisaris pemegang saham. Tapi di Indonesia banyak terjadi penyimpangan.
Sekelumit abstraksi untuk menyegarkan ingatan di awal ambruknya Bank Summa. Bank ini menggunakan jasa akuntan publik Anderson. Akuntan itu memberikan penilaian bahwa laporan itu: wajar dengan pengecualian. Anehnya beberapa bulan kemudian Bank Summa ambruk. “Nah, yang hampir sama terjadi pada 36 bank-bank BBKU (bank beku kegiatan usaha),” ungkap Agam Faturrahman saat ditemui Bangkit di Kantor ICW Jakarta.
          Pada saat krisis, banyak bank-bank yang ambruk, padahal laporan keuangannya menunjukkan prestasi bagus dan sehat. Untuk menjelaskan apa penyebabnya, salah satu cara yang digunakan adalah menelaah ulang kertas kerja yang dibuat Kantor Akuntan Publik (KAP) yang dianggap jujur dan menggunakan kaidah-kaidah yang telah baku.
         Namun, hasilnya di luar dugaan, ternyata BPKP menemukan kenyataan bahwa auditor tersebut melanggar Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP). Pelanggarannya, antara lain: KAP tidak melakukan pengujian yang memadai, dokumentasi audit kurang memadai dan tak memahami peraturan perbankan. Karena itu, ICW melalui suratnya bernomor 19/SK/S-BP/ICW/IV/2001, mengirimkan surat kepada Erry Riyana, Ketua Majelis Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia.
          “Beberapa waktu yang lalu ICW menerima laporan dari masyarakat mengenai hasil peer review BPKP atas 10 KAP yang mengaudit 37 bank bermasalah yang diantaranya merupakan bank penerima BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dan dibekukan kegiatannya,” kata Koordinator Badan Pekerja ICW, Teten Masduki. “Dari 10 Kantor akuntan publik hanya satu KAP yang tidak melanggar standar profesional,” timpal Agam.
          Menurut Agam, seharusnya akuntan publik itu mendapat sanksi sesuai dengan kode etik akuntan di Indonesia. Namun kenyataanya baik dari Depkeu maupun IAI tidak ada sanksi apapun kepada KAP maupun auditor partner dari KAP. Karena itu, ICW, mengambil langkah-langkah untuk mengadukan temuan masyarakat ini kepada Majelis Kehormatan IAI, Kamis (19/4), serta mengadukannya ke Mabes Polri, Senin (23/4).
          “Terindikasi kuat akuntan publik ini menyembunyikan borok-borok bank. Akibatnya nasabah yang dirugikan oleh bank maupun akuntan publik yang tidak profesional,” tandas Agam (baca box:ICW bicara -red).
          Pengamat Perbankan I Nyoman Moena, tidak menyangkal bahwa ada saja peluang akuntan dipengaruhi oleh kepentingan direksi ataupun komisaris dalam menentukan opini akuntannya. “Terpengaruh atau tidak itu berpulang dari kualitas akuntan itu sendiri. Kalau akuntan itu profesional, apapun yang mencoba mempengaruhi dia, dia tidak akan bergeming, akan tetap mengeluarkan opininya sesuai keyakinannya sesuai hasil pemeriksaan,” kata Moena.
          Mengomentari langkah ICW yang mengadukan ke Mabes Polri, menurutnya Moena langkah itu tidak tepat, karena akuntan itu adalah suatu profesi. Jikalau ditemukan atau diperkirakan terjadi penyimpangan profesional, maka pertama-tama yang berhak untuk mengadakan penilaian itu adalah dewan kehormatan profesi, dalam hal ini Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). “Untuk pekerjaan-pekerjaan profesi ada aturan mainnya. Kalau memang ada pidana, akan diselesaikan oleh jalur hukum,” tandas mantan Direktur BI ini.
 
TABLOID BANGKIT NO 30/TH III/EDISI 30 APRIL-6 MEI 2001



Ulasan Kasus:
                Kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) merupakan kasus yang selama ini selalu menyelimuti dunia perbankan kita. Bank-bank yang dilaporkan dalam keadaan baik-baik saja sehingga Bank Indonesia mau menyuntikkan dana bantuan ternyata kemudian sakit dan bermasalah sehingga dibekukan kegiatan usahanya. Tidak disangka ternyata akuntan publik memiliki peran dalam kasus ini. Tugas akuntan publik adalah memeriksa dan mengaudit laporan keuangan bank-bank tersebut. Seorang auditor seharusnya bekerja secara jujur dan sesuai dengan SPAP (Standar Profesional Akuntan Publik) karena ia mempunyai tanggung jawab secara hukum, finansial, dan moral. Tanggung jawab hukum artinya apabila terjadi pelanggaran kode etik profesi, maka ia dapat dituntut secara hukum. Tanggung jawab finansial maksudnya setiap kerugian yang terjadi karena kesalahan yang disengaja, maka diwajibkan mengganti sebesar kerugian tersebut. Sedangkan tanggung jawab moral adalah hilangnya kepercayaan masyarakat khususnya investor terhadap dirinya. Pada kasus diatas, pelanggaran yang dilakukan oleh kantor akuntan publik diantaranya pengujian dan dokumentasi audit kurang memadai.
                Banyaknya manipulasi data yang dilakukan oleh kantor akuntan publik di Indonesia menyebabkan investor asing menjadi takut untuk menanamkan modal di Indonesia karena opini audit dari para akuntan publik atas laporan keuangan perusahaan diragukan kebenarannya. Dan karena belum adanya sistem audit yang sama dalam perbankan, menimbulkan celah kerjasama yang tidak sehat dan saling menguntungkan antara perusahaaan dan kantor akuntan publik.

Efek Berantai Kasus Bank Capital

          Beberapa waktu lalu, manajemen dari emiten-emiten B7 dan juga Benakat Petroleum (BIPI), angkat bicara mengenai dana deposito abal-abal di Bank Capital (BACA). Yang paling menarik perhatian tentu Bakrie Sumatra Plantations (UNSP). UNSP tercatat menyimpan lebih dari Rp3.5 trilyun dana tunai dalam bentuk deposito di BACA, atau merupakan yang terbesar dibanding emiten-emiten lainnya (BNBR tidak termasuk). Dan apa yang dikatakan manajemen? ‘Ke-tidak sinkron-an data yang terjadi antara UNSP dan BACA tak lebih dari kesalahan administrasi saja, karena perbedaan waktu pencatatan laporan keuangan. Simpelnya, cuma salah ketik doang kok.’ Alasan yang bisa diterima? Anda bisa menilainya sendiri.
          Secara garis besarnya, UNSP mengatakan bahwa dana 3.5 trilyun yang disimpan di BACA sudah ditarik persis ketika tanggal 31 Maret 2010. Dana tersebut kemudian disebar di beberapa pos, salah satunya untuk mengakuisisi Domba Mas. Karena perbedaan waktu pencatatan keuangan, mungkin UNSP sudah menyusun laporan keuangan ketika dana tersebut belum ditarik dari BACA, sehingga dana 3.5 trilyun tersebut masih tercatat sebagai deposito di BACA. Sedangkan disisi lain, BACA baru menyusun laporan keuangan ketika dana tersebut sudah ditarik. So? Yup, masalahnya tidak lebih dari kesalah pahaman administrasi saja.
Kita mungkin tidak pernah tahu apakah penjelasan dari manajemen UNSP itu memang benar seperti itu kejadiannya ataukah mereka hanya mengada-ngada. Namun bahkan kalaupun penjelasan tersebut memang benar, maka itu bukan berarti masalahnya selesai sampai disitu.
          Sekarang mari kita cek laporan keuangan UNSP. Disana tercantum bahwa pada 1Q10, UNSP memiliki kas senilai Rp4.5 trilyun, sebuah peningkatan signifikan dibanding 1Q09 dimana kas UNSP hanya Rp213 milyar. Apa yang menyebabkan uang kas UNSP tiba-tiba melejit seperti itu? Yaitu karena UNSP dikatakan mendapat dana segar sebesar Rp5.0 trilyun dari right issue alias HMETD. Sebelumnya UNSP memang pernah menerbitkan right issue sebanyak 9.5 milyar lembar saham baru dengan harga Rp525 per saham, dengan standby buyer-nya PT Danatama Makmur.
          Berkat right issue tersebut, UNSP jadi punya dana kas sebesar Rp4.5 trilyun, dimana jika right issue tersebut tidak dilakukan, maka kas UNSP akan menjadi minus Rp500 milyar (nilai right issue-nya 5 trilyun, tapi kas UNSP malah cuma 4.5 trilyun). Nah, disini letak masalahnya: Jika UNSP mengatakan bahwa dana 3.5 trilyun tersebut sudah tidak lagi ditempatkan sebagai deposito di BACA, artinya dana kas UNSP tidak lagi 4.5 trilyun, melainkan hanya 1 trilyun. Dana 3.5 trilyun tersebut sudah tidak layak lagi ditempatkan sebagai dana kas yang jika di neraca ditempatkan sebagai aset lancar, melainkan sudah menjadi aset tidak lancar, karena memang sudah tidak lagi berbentuk sebagai kas.
          Jika posisi kas berubah dari 4.5 trilyun menjadi hanya tinggal 1 trilyun, maka otomatis current ratio atau rasio aset lancar perusahaan juga berubah, sehingga sebagian perhitungan analisis fundamental terutama angka current ratio dari UNSP harus dihitung ulang, karena posisi neraca UNSP juga telah berubah. So, tidak ada opsi lain: UNSP harus menyusun ulang laporan 1Q10-nya.
          Masalahnya selesai sampai disitu? Belum. Karena UNSP ini adalah anak usaha dari Bakrie & Brothers (BNBR) dimana laporan keuangan BNBR merupakan hasil konsolidasi dari anak-anak usahanya termasuk UNSP, maka laporan keuangan 1Q10 milik BNBR juga harus disusun ulang. Dan jika penyusunan ulang laporan keuangan tersebut tidak dilakukan, maka kekeliruan karena ‘salah ketik’ tersebut akan merembet ke laporan-laporan keuangan UNSP dan BNBR yang selanjutnya, karena laporan keuangan antara satu periode dengan periode berikutnya tentu saja saling berkaitan. Meski memang, kekeliruan yang disebut terakhir ini bisa dihindari jika manajemen UNSP melakukan review atau audit secara menyeluruh untuk laporan keuangan 1H10 dan laporan-laporan keuangan yang berikutnya.
          Laporan keuangan adalah dokumen yang teramat sangat sensitif dimana kesalahan penempatan satu angka saja bisa menyebabkan laporan keuangan tersebut keliru seluruhnya. Sayang sekali manajemen UNSP maupun anggota-anggota B7 lainnya (dan juga BIPI), tampaknya tidak terlalu mempedulikan hal ini. Kalau kita lihat kebelakang, kesalahan dalam penyusunan laporan keuangan kelihatannya memang merupakan sesuatu yang biasa terjadi diantara perusahaan-perusaahaan anggota B7. Kita tentu masih ingat bahwa ketika Bumi Resources (BUMI) menerbitkan laporan keuangan 1Q10 beberapa waktu lalu, salah satu direkturnya dengan entengnya berkata bahwa laba bersih BUMI sebenarnya tidak turun, melainkan naik. Alasannya? Karena laba bersih BUMI pada 1Q09 bukanlah US$ 125 juta seperti yang tercantum di laporan keuangan, melainkan hanya US$ 71 juta. Dengan demikian laba bersih BUMI tidak turun 22.3%, melainkan naik 38%, karena laba bersih BUMI pada 1Q10 adalah US$ 97 juta.
          Well, kalau laba bersih BUMI pada 1Q09 memang hanya US$ 71 juta, kenapa dicatatnya US$ 125 juta? Manajemen berkilah bahwa perbedaan pencatatan tersebut terjadi karena masalah administrasi, dimana kelebihan bayar pajak dan penurunan nilai minority interest belum dicantumkan. Bagaimana bisa, perusahaan sebesar BUMI dengan aset milyaran dollar bisa membuat kekeliruan separah itu hanya karena kesalahan administrasi? Selisih US$ 54 juta biar bagaimanapun bukan uang yang sedikit. Saya akan langsung pensiun kalau saya punya uang sebanyak.
          Jadi tidak perlu ‘diberi tahu’ oleh kasus Bank Capital-pun, kita memang sudah tahu bahwa laporan keuangan B7 memang sering nggak beres. Dan B7 mungkin tidak sendirian, karena setidaknya kita tahu bahwa BIPI juga punya masalah yang sama. Bagaimana dengan emiten-emiten lainnya? Who knows.



Ulasan Kasus:
Pada kasus UNSP diatas disebutkan bahwa telah terjadi kesalahan administrasi perusahaan berupa perbedaan waktu pencatatan laporan keuangan. Karena perbedaan waktu pencatatan keuangan, mungkin UNSP sudah menyusun laporan keuangan ketika dana tersebut belum ditarik dari Bank Capital, sehingga dana 3.5 trilyun tersebut masih tercatat sebagai deposito di Bank Capital. Sedangkan disisi lain, Bank Capital baru menyusun laporan keuangan ketika dana tersebut sudah ditarik. Jadi ada pebedaan data keuangan antara UNSP dan Bank Capital. Perbedaan ini jelas mengindikasikan adanya rekayasa kecurangan. Dana kas yang dimasukkan sebagai aset lancar seharusnya hanya 1 trilyun, karena yang 3.5 trilyun sudah berupa aset tidak lancar. Perubahan jumlah kas tersebut membuat posisi neraca juga berubah. Sehingga UNSP harus menyusun ulang laporan 1Q10-nya.
Rekayasa laporan keuangan yang dilakukan oleh UNSP tidak lepas dari bantuan para akuntan  yang mengerjakan laporan keuangan perusahaan. Entah memang murni kesalahan yang tak sengaja ataupun kesalahan tersebut dilakukan atas bujukan para pihak antara lain manajemen perusahaan dengan iming-iming imbalan. Akuntan seharusnya menjaga kepercayaan yang diberikan masyarakat dalam memberikan informasi mengenai kondisi keuangan suatu perusahaan. Jangan sampai seorang akuntan rela melanggar kode etik profesi akuntan demi hadiah atau imbalan.
Akuntan yang bertugas memeriksa atau mengaudit laporan keuangan juga bisa ikut andil dalam melakukan kecurangan. Akuntan profesional  selain dituntut memiliki pengetahuan dan keahlian khusus juga harus memiliki integritas dan moral. Tetapi apabila keahlian yang dipunyai digunakan untuk tindakan yang melanggar standar profesi, maka itu bukan sikap akuntan yang patut jadi panutan.
Hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang akuntan diantaranya menerima hadiah atau imbalan diluar gaji serta menyusun dan memeriksa laporan keuangan sebelum mendapat gaji. Itu dilakukan agar kualitas informasi objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.

Alokasi Dana Ke Anak Perusahaan Rp 100 Miliar Dipertanyakan


                 Kasus kesalahan pencatatan laporan keuangan yang dilakukan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) hingga kini masih misterius. Pasalnya, pihak PT Bursa Efek Indonesia (BEI) belum mengirimkan surat konfirmasi ke salah satu BUMN di bidang infrastruktur ini. Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Ito Warsito menga­ta­kan, pihak BEI akan mengirim­kan surat penjelasan kepada pe­rusa­haan apapun yang tercatat sa­ham­nya di BEI. Namun Ito me­nga­kui, kasus yang dialami WI­KA be­lum di­ketahuinya se­cara je­las.
“Terus terang, saya belum me­ngetahuinya. Coba tanyakan lang­­sung ke pak Eddy Sugito (Direk­tur Pencatatan BEI-red), karena beliau yang menangani kasus se­perti ini. Jika ada anggo­ta bursa yang melakukan hal se­perti itu, maka BEI akan mengi­rimkan su­rat penjelassan kepada yang ber­sangkutan,” ujarnya ke­pada Rak­yat Mer­deka di Jakarta, ke­marin.
Menanggapi kabar salah catat laporan keuangan, Corporate Se­cretary Wijaya Karya Natal Ar­ga­wan Pardede mengatakan, pa­da Mei lalu pihaknya sudah me­lakukan keterbukaan di BEI un­tuk menjelaskan masalah peru­bahan tersebut. Pasalnya, sebe­lum BEI meminta penjelasan, pihaknya lebih awal memberikan penjelasan terlebih dahulu, se­hingga pihak bursa tidak mela­yangkan surat ke WIKA.
“Itu kan hanya per­­bedaan po­snya saja dan ni­lainya juga tidak terlalu signifi­kan. Sekarang su­dah beres dan nggak ada masalah apa-apa,” kilah Natal, kemarin.
Seperti diketahui, kisruh kesa­lahan pencatatan laporan ke­uang­­­an WIKA berujung pada pe­rom­bakan komite audit inter­nal. Di mana pada 17 Mei 2010, pihak WI­KA mengangkat Dadi Pratjip­to sebagai Ketua Komite Audit WIKA yang meng­gantikan Ama­nah Abdulkadir, pejabat se­belum­nya. Selain Abdul Kadir, anggota Kepatu­han WIKA Sha­lahuddin Haikal, juga ikut me­ng­un­­durkan diri.
Kabarnya, pengunduran ketua dan anggota komite audit WIKA ini bukan diakibatkan oleh ke­lalaian mereka melakukan audit. Melainkan, hasil analisis laporan keuangan yang mereka garap ti­dak ditindaklanjuti perusahaan.
Informasi yang beredar di pa­sar kemarin menyebutkan, ang­gota komite audit  memper­ma­­sa­lahkan ketiadaan laporan pe­nggu­naan dana hasil penawa­ran saham perdana (IPO) yang masih tersisa Rp 100 miliar. Dana ini di­aloka­sikan sebagai pinja­­man ke­pada anak perusahaan WIKA, yakni Wika Intrade, Wika Beton dan Wika Insan Pertiwi.



 Ulasan Kasus:
Pada kasus PT Wijaya Karya Tbk diatas masih belum jelas siapa yang sebenarnya bersalah dan harus bertanggungjawab tentang adanya kesalahan pencatatan laporan keuangan perusahaan. Kesalahan bisa saja dilakukan oleh akuntan manajemen perusahaan yang sudah salah mencatat transaksi keuangan sehingga menyajikan laporan keuangan yang tidak akurat. Pencatatan laporan keuangan yang salah yang dilakukan oleh akuntan PT Wijaya Karya bila terjadi secara tidak sengaja, kemungkinan masih bisa dibenarkan. Tetapi seandainya itu dilakukan dengan sengaja dengan suatu maksud tertentu, maka hal itu tidak bisa dimaafkan. Itu menunjukkan adanya pelanggaran kode etik profesi akuntan. Seorang akuntan harus mempunyai tanggungjawab profesi. Disamping itu, integritas yang tinggi berupa kejujuran wajib dimiliki oleh seorang akuntan. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dijual untuk keuntungan pribadi semata. Dalam menyusun laporan keuangan, jangan sampai seorang akuntan manajemen kehilangan objektivitasnya. Ia harus bebas dari berbagai benturan kepentingan dan pengaruh dari pihak lain seperti pemilik dan manajemen perusahaan. Meskipun kesalahan yang terjadi pada laporan keuangan PT Wijaya Karya Tbk hanya pada perbedaan pos dan nilainya juga tidak signifikan, tetapi tetap saja mempunyai dampak yang berarti. Laporan keuangan perusahaan yang sudah dibuat harus direvisi kembali dan hilangnya kepercayaan pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan diantaranya para investor.
Kesalahan juga bisa saja dilakukan oleh auditor internal PT Wijaya Karya Tbk itu sendiri. Auditor internal adalah pegawai yang bertugas membantu manajemen perusahaan dalam pencegahan, pendeteksian, dan penginvestigasian kecurangan yang terjadi di suatu perusahaan. Kesalahan pencatatan laporan keuangan merupakan salah satu indikasi adanya kecurangan. Tetapi laporan audit yang dibuat oleh pihak auditor perusahaan juga belum terbukti kebenarannya, bisa saja auditor yang melakukan kesalahan dalam pemeriksaan laporan keuangan PT Wijaya Karya Tbk. Seorang auditor internal harus mempunyai kompetensi pengetahuan, keahlian, dan pengalaman audit sehingga kecil kemungkinan ia melakukan kesalahan. Selain itu objektif dalam menilai setiap kondisi, tidak membela kepentingan pihak manapun. Disamping itu pelaksanaan audit harus sesuai dengan standar audit yang telah ditetapkan.