Sabtu, 15 Januari 2011

Secuil Potret Pelayanan Kesehatan

Aku ingin berbagi cerita mengenai pengalamanku terkait buruknya pelayanan kesehatan di Indonesia. Aku adalah anak kos-kosan yang hidup jauh dari orang tua. Sebagai anak rantau, teman-teman kos merupakan keluarga terdekat. Suatu malam saat jam menunjuk angka 11, seorang teman terdekatku, sebut saja namanya dien, tiba-tiba muntah yang disusul diare. Hal itu terjadi berulang-ulang. Aku takut dan bingung. Aku berusaha membantu sebisaku. Aku buatkan teh panas, mengolesi badannya dengan minyak kayu putih, dan berusaha menghubungi keluarganya di rumah. Oleh keluarganya, disarankan agar aku memanggil dokter terdekat. Ternyata, dokter yang dihubungi tidak bisa datang dengan alasan sudah tengah malam dan di luar juga sedang hujan deras. Aku lihat wajah temanku yang sedang menahan sakit, betapa ia merintih sangat kesakitan. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk meringankan atau mengobati rasa sakitnya. Aku hanya bisa menjaganya, menemani bila ia mau muntah atau diare ke kamar mandi. Jam dinding sekarang sudah menunjuk angka 3. Aku yang belum tidur, tidak merasakan kantuk sama sekali. Padahal besok pagi jam 9, aku ada kuliah. Akhirnya, setelah adzan subuh, aku dan seorang teman lagi membawa dien ke sebuah rumah sakit pemerintah. Kami berboncengan 3 orang. Aku duduk paling belakang menjaga dien agar tidak terjatuh. Di perjalanan ke rumah sakit yang disertai hujan itu, motor tiba-tiba mogok. Beruntung ada teman lain yang mau meminjami motornya. Kami bertiga sama-sama tidak tahu jalan ke arah rumah sakit. Berbekal tanya sana-sini, lega juga akhirnya kami tiba di rumah sakit, meskipun dalam keadaan basah kuyup. Dien langsung masuk ke Instalasi Gawat Darurat(IGD). Dia tidak langsung diperiksa karena kami harus mendaftar dulu. Seorang dokter laki-laki yang sudah tua kemudian menanyakan apa saja keluhannya. Setelah menerima penjelasan, dugaan sementara dari dokter bahwa dien terkena usus buntu yang sudah parah. Betapa terkejutnya kami semua, karena selama ini dien pun tidak tahu. Perutnya sejak dulu memang sering sakit, dia juga pernah sampai pingsan, tapi oleh semua orang itu dianggap sepele sebagai penyakit mag. Untuk lebih memperkuat dugaannya, dokter menyuruh perawat mengambil darah untuk dites di laboratorium. Saat pengambilan darah, terlihat bahwa perawat kurang kompeten dan ahli. Dien merasa sakit karena jarum ditusuk sampai 4 kali di tempat yang berbeda baru darah bisa diambil. Ternyata benar dugaan dokter, hasil lab menunjukkan bahwa dien positif usus buntu. Dan hal yang benar-benar membuat kami semua takut dan terpukul adalah bahwa dien harus di operasi segera, saat itu juga. Kami bertanya bagaimana kalau operasinya ditunda sampai besok karena menunggu orang tuanya datang dari luar kota. Dokter bilang terserah kalau mau nyawa dien terancam, karena sewaktu-waktu usus buntunya bisa pecah dan bisa menyebabkan kematian. Saat itu pikiran kami kalut, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Operasi juga tidak gampang karena taruhannya nyawa, dan sebelum di operasi kami harus membayar sejumlah uang dulu. Saat itu orang tuanya dien belum bisa mengirim uang, sehingga teman kami sampai mencari siapa saja yang bisa meminjami uang agar dien bisa segera dioperasi. Beruntung setelah membayarkan uang, siangnya dien dioperasi. Alhamdulilah operasinya berjalan lancar. Dalam masa perawatan, dien menginap di rumah sakit selama lebih kurang seminggu. Ia dijaga oleh ibu dan kakaknya. Selama di rumah sakit, dien diperlakukan kurang baik. Dia tidak mendapat senyum dan tidak merasakan keramahan dari perawat. Terlihat bahwa perawat bekerja dengan terpaksa dan seenaknya. Saat memasang infus pun, menusuk jarum sampai beberapa kali di tangan dien. Hal itu sangat tidak pantas dan tidak seharusnya dilakukan oleh seorang yang seharusnya ahli dalam bidangnya.
Cerita berikutnya datang dari pacar temanku, Bono namanya. Dia sudah beberapa hari sakit, muntah terus-menerus sampai lemas. Awalnya dia tidak begitu peduli karena dianggapnya sakit biasa, cuma masuk angin. Dia mengira cukup diperiksa oleh dokter umum di apotek, diberi obat, tidur, kemudian sembuh. Ternyata tidak demikian yang terjadi. Sakitnya semakin parah. Badannya mulai panas dan menggigil. Teman sekamarnya kemudian membawa Bono ke sebuah rumah sakit pemerintah karena kemungkinan Bono terkena gejala demam berdarah. Seharusnya dengan melihat kondisi pasien yang lemah, seorang tenaga medis meminta pasien agar mau dirawat. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, perawat justru menyuruh Bono untuk pulang. Saat teman Bono protes karena tidak tega melihat temannya yang kesakitan, si perawat malah bilang kalau Bono itu manja. Setelah Bono memberikan uang, barulah si perawat mau menyiapkan kamar. Perlakuan perawat semacam itu sangat tidak dibenarkan. Tidak semua orang yang sakit memiliki cukup uang untuk berobat. Orang yang sedang kesakitan harusnya kita bantu, bukannya menambah kesulitan mereka.
Aku juga punya cerita lain. Ini benar-benar pengalaman pribadi. Aku pernah sakit. Tadinya hanya berupa benjolan merah di ibu jari kaki. Lama-lama menyebar bengkak kemerahan di mata kaki, pergelangan kaki, lutut, bahkan sampai di siku tangan. Saat malam hari merupakan puncak rasa sakit. Sendi terasa kaku saat bangun tidur dan badan sulit digerakkan. Untuk berjalan saja butuh penyangga. Ini sangat mengganggu kuliah dan aktivitas sehari-hari. Kuputuskan untuk periksa di dokter umum di apotek. Beliau menyuruh untuk tes asam urat, dan hasilnya masih normal. Dokter tidak bisa menyimpulkan dengan pasti, beliau hanya mengatakan penyakitku termasuk jarang dan menyarankan agar aku menemui dokter spesialis penyakit dalam. Yang kurasakan setelah itu bingung dan takut. Setelah memiliki cukup uang, aku memberanikan diri pergi ke rumah sakit pemerintah yang paling dekat dengan kos. Sebelumnya aku sudah mengecek jadwal praktek dokter spesialis penyakit dalam lewat internet. Jujur saja tidak ada prosedur yang jelas bagaimana alur pemeriksaan. Setelah mendaftar di resepsionis, aku disuruh menunggu di depan kamar praktek. Aku datang pertama kali sebelum orang-orang lain yang juga mau periksa berdatangan, jadi wajar kan kalau ku kira akulah orang yang akan diperiksa pertama. Betapa bingungnya karena bukanlah namaku yang pertama dipanggil. Dan kenyataannya justru aku yang datang pertama, mendapat giliran terakhir. Sungguh ironis sekali. Aku kecewa dan bertanya-tanya dalam hati, apa penyebab mereka yang datang setelah aku tetapi mendapat giliran sebelum aku. Itu kan tidak adil. Saat namaku dipanggil, aku bukannya dipersilakan masuk ke ruang praktek tetapi ke sebuah ruangan lain. Aku harus menjalani pemeriksaan tekanan darah dulu. Setelah itu menunggu di tempat yang tadi. Akhirnya namaku dipanggil juga, aku dipersilakan masuk ruang praktek. Ada seorang dokter laki-laki yang sudah tua beserta seorang perawat. Tidak ada sama sekali keramahan yang kudapat. Muka keduanya dingin dan tidak menyenangkan. Kuceritakan semua keluhanku. Dokter tidak banyak bicara apa-apa, bahkan hampir tidak berkomunikasi denganku. Beliau hanya mengatakan seperlunya padaku dan perawat. Kemungkinan sementara adalah gejalaku mirip rematik jantung. Aku sangat takut sekali, aku berharap itu salah. Aku berharap memperoleh penjelasan yang detil, akurat, dan jelas tentang apa itu rematik jantung. Sayangnya itu hanya harapan kosong. Dokter memberi beberapa lembar kertas untuk bermacam-macam cek darah di laboratorium yang harus kujalani dan rincian biaya. Nanti kalau sudah ada hasilnya, disuruhnya lagi ku kembali ke ruang praktek ini. Sambil menunggu hasil tes lab, aku membayar sejumlah biaya di loket pembayaran. Ternyata untuk tes laboratoriumnya yang mahal. Aku sempat berpikir bagaimana kalau orang miskin yang sakit, untuk makan saja susah apalagi untuk berobat. Hasil tes lab pun keluar. Aku segera membawanya ke dokter. Dokter mengatakan bahwa aku tidak terkena rematik jantung tetapi rematik biasa. Penyebabnya adalah antibodi yang seharusnya menyerang virus dan benda-benda asing yang masuk ke tubuh sangat aktif sehingga malah menyerang balik tubuh sendiri. Aku mencoba menggali informasi lebih banyak lagi tetapi Dokter tidak mau mengatakan apa-apa lagi. Dokter kemudian memberikan resep obat yang harus kutebus. Bahkan obat pun juga mahal. Bersyukurlah aku masih bisa membeli obat, banyak orang miskin di luar sana yang mungkin tidak mampu memmbeli obat. Sungguh kasihan. Seharusnya uang rakyat yang dikorupsi para pejabat bisa digunakan untuk mensubsidi obat-obatan untuk rakyat miskin. Obat dari dokter kuminum sesuai petunjuk dan sampai habis. Seminggu kemudian aku kontrol lagi ke rumah sakit. Bengkak di kaki masih ada, nyeri juga masih. Dokter masih saja tidak memberikan penjelasan yang detil tentang penyakitku. Dokter tetap memberi resep obat yang sama dari kemarin, cuma frekuensi minumnya yang diganti. Setelah obat habis, meskipun masih nyeri dan ada bengkaknya, sudah kuputuskan aku tidak mau ke tempat dokter lagi. Aku tidak mau minum obat lagi. Aku tidak mau tergantung dengan obat-obatan seumur hidup. Karena ternyata, obat dari dokter belum ada yang bisa menyembuhkan rematik. Obat tersebut hanya berfungsi meringankan rasa nyeri. Sikap dokter yang tidak banyak bicara juga akhirnya terjawab. Dokter bicara banyak atau sedikit sesuai tarifnya. Dokter pemerintah tarifnya lebih murah dari swasta, sehingga pelayanan dari dokter swasta lebih bagus dan memuaskan. Walaupun kakiku tidak kuat untuk berjalan jauh seperti dulu, sakit saat naik tangga, dan terasa kaku saat bangun tidur, Aku tidak mau kembali ke dokter lagi. Aku sekarang beralih ke pengobatan tradisional yang lebih aman seperti minum sereh dan terapi jalan di batu-batu.
Berikutnya pengalaman dari ibunya temannya temanku, bernama Bu Abud. Bu Abud bekerja sebagai seorang pegawai negeri sipil. Selama berpuluh tahun beliau kerja, selama itu pula beliau rutin mendonorkan darah setiap bulan di pusat darah. Beliau mendonorkan darahnya dengan ikhlas karena ingin sedikit lebih berguna untuk orang lain. Beliau juga tidak pernah berpikiran buruk sama sekali apakah darahnya memang disalurkan  melalui pihak yang tepat atau bukan. Suatu hari anak beliau yang tidak lain temannya temanku, sebut saja Abud, mengalami kecelakaan. Ia kehilangan banyak darah dan membutuhkan segera transfusi darah. Sayangnya stok darah di rumah sakit sedang habis. Ibu Abud kemudian berpikir selama puluhan tahun ia pendonor tetap di pusat darah, harapannya di sana ada cukup darah untuk putranya yang sedang sekarat. Sayang harapan tinggal harapan. Setibanya di pusat darah, bukanlah darah yang ia dapat tapi sakit hati dan kecewa. Meskipun Bu Abud pendonor tetap tetapi petugas mengatakan bahwa tidak ada darah yang tersedia untuk putranya yang sekarat. Parahnya lagi petugas menjanjikan bahwa darah akan diberikan jika Bu Abud bersedia membayar sejumlah uang jutaan rupiah. Dengan perasaan terluka dan marah, Bu Abud menyanggupi membayar uang tersebut demi putranya. Saat itu dalam benaknya ia bertekat tidak mau mendonorkan darahnya lagi, karena ternyata selama ini darah yang ia sumbangkan dengan ikhlas di perjualbelikan demi keuntungan sendiri. Bagaimana dengan nasib orang miskin yang sekarat, yang memerlukan tranfusi darah secepatnya tetapi tidak punya uang? Kenapa selalu orang miskin yang jadi korban? Apakah orang miskin tidak boleh sakit dan hanya orang kaya yang boleh?
            Dari berbagai gambaran diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pelayanan kesehatan di Indonesia masih buruk. Hanya mereka yang berkantong tebal saja yang mendapat pelayanan memuaskan, sedangkan kalangan mayoritas yang merupakan masyarakat menengah ke bawah harus menikmati pelayanan dengan standar yang pas-pasan. Dengan prosedur yang tidak jelas dan sangat kompleks dimanfaatkan oleh petugas untuk meminta pungutan tambahan sehingga biaya pelayanan kesehatan menjadi mahal. Aparat juga kurang profesional, kurang menghargai etos kerja, dan tidak ada iktikad baik dalam penyelenggaraan tugasnya. Begitu juga respon yang kurang dari petugas kesehatan terhadap sejumlah keluhan, saran, dan aspirasi masyarakat mengakibatkan pelayanan yang diberikan apa adanya dan tanpa perbaikan yang berarti. Pemerintah seharusnya perlu menetapkan standar pelayanan yang baku, berupa syarat, prosedur, sarana dan prasarana pelayanan, serta waktu dan biaya pelayanan.
            

Senin, 15 November 2010

10 AKUNTAN TERLIBAT SKANDAL BLBI

          Istilah akuntan tailor made (pesanan), akuntan stempel, akuntan cap, sudah akrab di telinga masyarakat. Kini Indonesian Corruption Watch (ICW) mencoba membongkar permainan akuntan publik itu. Siapa saja akuntan publik yang berkolusi dengan bank bermasalah? Apa sanksinya? kredit macet, kredit fiktif, penggelembungan angka (mark-up) merupakan borok-borok perbankan di tanah air. Sudah rahasia umum, konglomerasi di Indonesia memiliki bank untuk menghimpun dana dari masyarakat. Dan, biasanya bank itu digunakan sebagai ’sapi perah’ bagi perusahaan dalam grup. Hal itu terjadi karena struktur kepemilikan perusahaan di Indonesia sebagian besar perusahaan keluarga. Berbeda dengan perusahaan di negara maju, misalnya Amerika Serikat. Disana, struktur kepemilikan perusahaan sudah terpisah.
          Karena di AS terpisah, maka peran akuntan publik menjadi penting untuk menjadi wasit antara manajemen dengan pemilik atau komisaris pemegang saham. Tapi di Indonesia banyak terjadi penyimpangan.
Sekelumit abstraksi untuk menyegarkan ingatan di awal ambruknya Bank Summa. Bank ini menggunakan jasa akuntan publik Anderson. Akuntan itu memberikan penilaian bahwa laporan itu: wajar dengan pengecualian. Anehnya beberapa bulan kemudian Bank Summa ambruk. “Nah, yang hampir sama terjadi pada 36 bank-bank BBKU (bank beku kegiatan usaha),” ungkap Agam Faturrahman saat ditemui Bangkit di Kantor ICW Jakarta.
          Pada saat krisis, banyak bank-bank yang ambruk, padahal laporan keuangannya menunjukkan prestasi bagus dan sehat. Untuk menjelaskan apa penyebabnya, salah satu cara yang digunakan adalah menelaah ulang kertas kerja yang dibuat Kantor Akuntan Publik (KAP) yang dianggap jujur dan menggunakan kaidah-kaidah yang telah baku.
         Namun, hasilnya di luar dugaan, ternyata BPKP menemukan kenyataan bahwa auditor tersebut melanggar Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP). Pelanggarannya, antara lain: KAP tidak melakukan pengujian yang memadai, dokumentasi audit kurang memadai dan tak memahami peraturan perbankan. Karena itu, ICW melalui suratnya bernomor 19/SK/S-BP/ICW/IV/2001, mengirimkan surat kepada Erry Riyana, Ketua Majelis Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia.
          “Beberapa waktu yang lalu ICW menerima laporan dari masyarakat mengenai hasil peer review BPKP atas 10 KAP yang mengaudit 37 bank bermasalah yang diantaranya merupakan bank penerima BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dan dibekukan kegiatannya,” kata Koordinator Badan Pekerja ICW, Teten Masduki. “Dari 10 Kantor akuntan publik hanya satu KAP yang tidak melanggar standar profesional,” timpal Agam.
          Menurut Agam, seharusnya akuntan publik itu mendapat sanksi sesuai dengan kode etik akuntan di Indonesia. Namun kenyataanya baik dari Depkeu maupun IAI tidak ada sanksi apapun kepada KAP maupun auditor partner dari KAP. Karena itu, ICW, mengambil langkah-langkah untuk mengadukan temuan masyarakat ini kepada Majelis Kehormatan IAI, Kamis (19/4), serta mengadukannya ke Mabes Polri, Senin (23/4).
          “Terindikasi kuat akuntan publik ini menyembunyikan borok-borok bank. Akibatnya nasabah yang dirugikan oleh bank maupun akuntan publik yang tidak profesional,” tandas Agam (baca box:ICW bicara -red).
          Pengamat Perbankan I Nyoman Moena, tidak menyangkal bahwa ada saja peluang akuntan dipengaruhi oleh kepentingan direksi ataupun komisaris dalam menentukan opini akuntannya. “Terpengaruh atau tidak itu berpulang dari kualitas akuntan itu sendiri. Kalau akuntan itu profesional, apapun yang mencoba mempengaruhi dia, dia tidak akan bergeming, akan tetap mengeluarkan opininya sesuai keyakinannya sesuai hasil pemeriksaan,” kata Moena.
          Mengomentari langkah ICW yang mengadukan ke Mabes Polri, menurutnya Moena langkah itu tidak tepat, karena akuntan itu adalah suatu profesi. Jikalau ditemukan atau diperkirakan terjadi penyimpangan profesional, maka pertama-tama yang berhak untuk mengadakan penilaian itu adalah dewan kehormatan profesi, dalam hal ini Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). “Untuk pekerjaan-pekerjaan profesi ada aturan mainnya. Kalau memang ada pidana, akan diselesaikan oleh jalur hukum,” tandas mantan Direktur BI ini.
 
TABLOID BANGKIT NO 30/TH III/EDISI 30 APRIL-6 MEI 2001



Ulasan Kasus:
                Kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) merupakan kasus yang selama ini selalu menyelimuti dunia perbankan kita. Bank-bank yang dilaporkan dalam keadaan baik-baik saja sehingga Bank Indonesia mau menyuntikkan dana bantuan ternyata kemudian sakit dan bermasalah sehingga dibekukan kegiatan usahanya. Tidak disangka ternyata akuntan publik memiliki peran dalam kasus ini. Tugas akuntan publik adalah memeriksa dan mengaudit laporan keuangan bank-bank tersebut. Seorang auditor seharusnya bekerja secara jujur dan sesuai dengan SPAP (Standar Profesional Akuntan Publik) karena ia mempunyai tanggung jawab secara hukum, finansial, dan moral. Tanggung jawab hukum artinya apabila terjadi pelanggaran kode etik profesi, maka ia dapat dituntut secara hukum. Tanggung jawab finansial maksudnya setiap kerugian yang terjadi karena kesalahan yang disengaja, maka diwajibkan mengganti sebesar kerugian tersebut. Sedangkan tanggung jawab moral adalah hilangnya kepercayaan masyarakat khususnya investor terhadap dirinya. Pada kasus diatas, pelanggaran yang dilakukan oleh kantor akuntan publik diantaranya pengujian dan dokumentasi audit kurang memadai.
                Banyaknya manipulasi data yang dilakukan oleh kantor akuntan publik di Indonesia menyebabkan investor asing menjadi takut untuk menanamkan modal di Indonesia karena opini audit dari para akuntan publik atas laporan keuangan perusahaan diragukan kebenarannya. Dan karena belum adanya sistem audit yang sama dalam perbankan, menimbulkan celah kerjasama yang tidak sehat dan saling menguntungkan antara perusahaaan dan kantor akuntan publik.

Efek Berantai Kasus Bank Capital

          Beberapa waktu lalu, manajemen dari emiten-emiten B7 dan juga Benakat Petroleum (BIPI), angkat bicara mengenai dana deposito abal-abal di Bank Capital (BACA). Yang paling menarik perhatian tentu Bakrie Sumatra Plantations (UNSP). UNSP tercatat menyimpan lebih dari Rp3.5 trilyun dana tunai dalam bentuk deposito di BACA, atau merupakan yang terbesar dibanding emiten-emiten lainnya (BNBR tidak termasuk). Dan apa yang dikatakan manajemen? ‘Ke-tidak sinkron-an data yang terjadi antara UNSP dan BACA tak lebih dari kesalahan administrasi saja, karena perbedaan waktu pencatatan laporan keuangan. Simpelnya, cuma salah ketik doang kok.’ Alasan yang bisa diterima? Anda bisa menilainya sendiri.
          Secara garis besarnya, UNSP mengatakan bahwa dana 3.5 trilyun yang disimpan di BACA sudah ditarik persis ketika tanggal 31 Maret 2010. Dana tersebut kemudian disebar di beberapa pos, salah satunya untuk mengakuisisi Domba Mas. Karena perbedaan waktu pencatatan keuangan, mungkin UNSP sudah menyusun laporan keuangan ketika dana tersebut belum ditarik dari BACA, sehingga dana 3.5 trilyun tersebut masih tercatat sebagai deposito di BACA. Sedangkan disisi lain, BACA baru menyusun laporan keuangan ketika dana tersebut sudah ditarik. So? Yup, masalahnya tidak lebih dari kesalah pahaman administrasi saja.
Kita mungkin tidak pernah tahu apakah penjelasan dari manajemen UNSP itu memang benar seperti itu kejadiannya ataukah mereka hanya mengada-ngada. Namun bahkan kalaupun penjelasan tersebut memang benar, maka itu bukan berarti masalahnya selesai sampai disitu.
          Sekarang mari kita cek laporan keuangan UNSP. Disana tercantum bahwa pada 1Q10, UNSP memiliki kas senilai Rp4.5 trilyun, sebuah peningkatan signifikan dibanding 1Q09 dimana kas UNSP hanya Rp213 milyar. Apa yang menyebabkan uang kas UNSP tiba-tiba melejit seperti itu? Yaitu karena UNSP dikatakan mendapat dana segar sebesar Rp5.0 trilyun dari right issue alias HMETD. Sebelumnya UNSP memang pernah menerbitkan right issue sebanyak 9.5 milyar lembar saham baru dengan harga Rp525 per saham, dengan standby buyer-nya PT Danatama Makmur.
          Berkat right issue tersebut, UNSP jadi punya dana kas sebesar Rp4.5 trilyun, dimana jika right issue tersebut tidak dilakukan, maka kas UNSP akan menjadi minus Rp500 milyar (nilai right issue-nya 5 trilyun, tapi kas UNSP malah cuma 4.5 trilyun). Nah, disini letak masalahnya: Jika UNSP mengatakan bahwa dana 3.5 trilyun tersebut sudah tidak lagi ditempatkan sebagai deposito di BACA, artinya dana kas UNSP tidak lagi 4.5 trilyun, melainkan hanya 1 trilyun. Dana 3.5 trilyun tersebut sudah tidak layak lagi ditempatkan sebagai dana kas yang jika di neraca ditempatkan sebagai aset lancar, melainkan sudah menjadi aset tidak lancar, karena memang sudah tidak lagi berbentuk sebagai kas.
          Jika posisi kas berubah dari 4.5 trilyun menjadi hanya tinggal 1 trilyun, maka otomatis current ratio atau rasio aset lancar perusahaan juga berubah, sehingga sebagian perhitungan analisis fundamental terutama angka current ratio dari UNSP harus dihitung ulang, karena posisi neraca UNSP juga telah berubah. So, tidak ada opsi lain: UNSP harus menyusun ulang laporan 1Q10-nya.
          Masalahnya selesai sampai disitu? Belum. Karena UNSP ini adalah anak usaha dari Bakrie & Brothers (BNBR) dimana laporan keuangan BNBR merupakan hasil konsolidasi dari anak-anak usahanya termasuk UNSP, maka laporan keuangan 1Q10 milik BNBR juga harus disusun ulang. Dan jika penyusunan ulang laporan keuangan tersebut tidak dilakukan, maka kekeliruan karena ‘salah ketik’ tersebut akan merembet ke laporan-laporan keuangan UNSP dan BNBR yang selanjutnya, karena laporan keuangan antara satu periode dengan periode berikutnya tentu saja saling berkaitan. Meski memang, kekeliruan yang disebut terakhir ini bisa dihindari jika manajemen UNSP melakukan review atau audit secara menyeluruh untuk laporan keuangan 1H10 dan laporan-laporan keuangan yang berikutnya.
          Laporan keuangan adalah dokumen yang teramat sangat sensitif dimana kesalahan penempatan satu angka saja bisa menyebabkan laporan keuangan tersebut keliru seluruhnya. Sayang sekali manajemen UNSP maupun anggota-anggota B7 lainnya (dan juga BIPI), tampaknya tidak terlalu mempedulikan hal ini. Kalau kita lihat kebelakang, kesalahan dalam penyusunan laporan keuangan kelihatannya memang merupakan sesuatu yang biasa terjadi diantara perusahaan-perusaahaan anggota B7. Kita tentu masih ingat bahwa ketika Bumi Resources (BUMI) menerbitkan laporan keuangan 1Q10 beberapa waktu lalu, salah satu direkturnya dengan entengnya berkata bahwa laba bersih BUMI sebenarnya tidak turun, melainkan naik. Alasannya? Karena laba bersih BUMI pada 1Q09 bukanlah US$ 125 juta seperti yang tercantum di laporan keuangan, melainkan hanya US$ 71 juta. Dengan demikian laba bersih BUMI tidak turun 22.3%, melainkan naik 38%, karena laba bersih BUMI pada 1Q10 adalah US$ 97 juta.
          Well, kalau laba bersih BUMI pada 1Q09 memang hanya US$ 71 juta, kenapa dicatatnya US$ 125 juta? Manajemen berkilah bahwa perbedaan pencatatan tersebut terjadi karena masalah administrasi, dimana kelebihan bayar pajak dan penurunan nilai minority interest belum dicantumkan. Bagaimana bisa, perusahaan sebesar BUMI dengan aset milyaran dollar bisa membuat kekeliruan separah itu hanya karena kesalahan administrasi? Selisih US$ 54 juta biar bagaimanapun bukan uang yang sedikit. Saya akan langsung pensiun kalau saya punya uang sebanyak.
          Jadi tidak perlu ‘diberi tahu’ oleh kasus Bank Capital-pun, kita memang sudah tahu bahwa laporan keuangan B7 memang sering nggak beres. Dan B7 mungkin tidak sendirian, karena setidaknya kita tahu bahwa BIPI juga punya masalah yang sama. Bagaimana dengan emiten-emiten lainnya? Who knows.



Ulasan Kasus:
Pada kasus UNSP diatas disebutkan bahwa telah terjadi kesalahan administrasi perusahaan berupa perbedaan waktu pencatatan laporan keuangan. Karena perbedaan waktu pencatatan keuangan, mungkin UNSP sudah menyusun laporan keuangan ketika dana tersebut belum ditarik dari Bank Capital, sehingga dana 3.5 trilyun tersebut masih tercatat sebagai deposito di Bank Capital. Sedangkan disisi lain, Bank Capital baru menyusun laporan keuangan ketika dana tersebut sudah ditarik. Jadi ada pebedaan data keuangan antara UNSP dan Bank Capital. Perbedaan ini jelas mengindikasikan adanya rekayasa kecurangan. Dana kas yang dimasukkan sebagai aset lancar seharusnya hanya 1 trilyun, karena yang 3.5 trilyun sudah berupa aset tidak lancar. Perubahan jumlah kas tersebut membuat posisi neraca juga berubah. Sehingga UNSP harus menyusun ulang laporan 1Q10-nya.
Rekayasa laporan keuangan yang dilakukan oleh UNSP tidak lepas dari bantuan para akuntan  yang mengerjakan laporan keuangan perusahaan. Entah memang murni kesalahan yang tak sengaja ataupun kesalahan tersebut dilakukan atas bujukan para pihak antara lain manajemen perusahaan dengan iming-iming imbalan. Akuntan seharusnya menjaga kepercayaan yang diberikan masyarakat dalam memberikan informasi mengenai kondisi keuangan suatu perusahaan. Jangan sampai seorang akuntan rela melanggar kode etik profesi akuntan demi hadiah atau imbalan.
Akuntan yang bertugas memeriksa atau mengaudit laporan keuangan juga bisa ikut andil dalam melakukan kecurangan. Akuntan profesional  selain dituntut memiliki pengetahuan dan keahlian khusus juga harus memiliki integritas dan moral. Tetapi apabila keahlian yang dipunyai digunakan untuk tindakan yang melanggar standar profesi, maka itu bukan sikap akuntan yang patut jadi panutan.
Hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang akuntan diantaranya menerima hadiah atau imbalan diluar gaji serta menyusun dan memeriksa laporan keuangan sebelum mendapat gaji. Itu dilakukan agar kualitas informasi objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.

Alokasi Dana Ke Anak Perusahaan Rp 100 Miliar Dipertanyakan


                 Kasus kesalahan pencatatan laporan keuangan yang dilakukan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) hingga kini masih misterius. Pasalnya, pihak PT Bursa Efek Indonesia (BEI) belum mengirimkan surat konfirmasi ke salah satu BUMN di bidang infrastruktur ini. Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Ito Warsito menga­ta­kan, pihak BEI akan mengirim­kan surat penjelasan kepada pe­rusa­haan apapun yang tercatat sa­ham­nya di BEI. Namun Ito me­nga­kui, kasus yang dialami WI­KA be­lum di­ketahuinya se­cara je­las.
“Terus terang, saya belum me­ngetahuinya. Coba tanyakan lang­­sung ke pak Eddy Sugito (Direk­tur Pencatatan BEI-red), karena beliau yang menangani kasus se­perti ini. Jika ada anggo­ta bursa yang melakukan hal se­perti itu, maka BEI akan mengi­rimkan su­rat penjelassan kepada yang ber­sangkutan,” ujarnya ke­pada Rak­yat Mer­deka di Jakarta, ke­marin.
Menanggapi kabar salah catat laporan keuangan, Corporate Se­cretary Wijaya Karya Natal Ar­ga­wan Pardede mengatakan, pa­da Mei lalu pihaknya sudah me­lakukan keterbukaan di BEI un­tuk menjelaskan masalah peru­bahan tersebut. Pasalnya, sebe­lum BEI meminta penjelasan, pihaknya lebih awal memberikan penjelasan terlebih dahulu, se­hingga pihak bursa tidak mela­yangkan surat ke WIKA.
“Itu kan hanya per­­bedaan po­snya saja dan ni­lainya juga tidak terlalu signifi­kan. Sekarang su­dah beres dan nggak ada masalah apa-apa,” kilah Natal, kemarin.
Seperti diketahui, kisruh kesa­lahan pencatatan laporan ke­uang­­­an WIKA berujung pada pe­rom­bakan komite audit inter­nal. Di mana pada 17 Mei 2010, pihak WI­KA mengangkat Dadi Pratjip­to sebagai Ketua Komite Audit WIKA yang meng­gantikan Ama­nah Abdulkadir, pejabat se­belum­nya. Selain Abdul Kadir, anggota Kepatu­han WIKA Sha­lahuddin Haikal, juga ikut me­ng­un­­durkan diri.
Kabarnya, pengunduran ketua dan anggota komite audit WIKA ini bukan diakibatkan oleh ke­lalaian mereka melakukan audit. Melainkan, hasil analisis laporan keuangan yang mereka garap ti­dak ditindaklanjuti perusahaan.
Informasi yang beredar di pa­sar kemarin menyebutkan, ang­gota komite audit  memper­ma­­sa­lahkan ketiadaan laporan pe­nggu­naan dana hasil penawa­ran saham perdana (IPO) yang masih tersisa Rp 100 miliar. Dana ini di­aloka­sikan sebagai pinja­­man ke­pada anak perusahaan WIKA, yakni Wika Intrade, Wika Beton dan Wika Insan Pertiwi.



 Ulasan Kasus:
Pada kasus PT Wijaya Karya Tbk diatas masih belum jelas siapa yang sebenarnya bersalah dan harus bertanggungjawab tentang adanya kesalahan pencatatan laporan keuangan perusahaan. Kesalahan bisa saja dilakukan oleh akuntan manajemen perusahaan yang sudah salah mencatat transaksi keuangan sehingga menyajikan laporan keuangan yang tidak akurat. Pencatatan laporan keuangan yang salah yang dilakukan oleh akuntan PT Wijaya Karya bila terjadi secara tidak sengaja, kemungkinan masih bisa dibenarkan. Tetapi seandainya itu dilakukan dengan sengaja dengan suatu maksud tertentu, maka hal itu tidak bisa dimaafkan. Itu menunjukkan adanya pelanggaran kode etik profesi akuntan. Seorang akuntan harus mempunyai tanggungjawab profesi. Disamping itu, integritas yang tinggi berupa kejujuran wajib dimiliki oleh seorang akuntan. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dijual untuk keuntungan pribadi semata. Dalam menyusun laporan keuangan, jangan sampai seorang akuntan manajemen kehilangan objektivitasnya. Ia harus bebas dari berbagai benturan kepentingan dan pengaruh dari pihak lain seperti pemilik dan manajemen perusahaan. Meskipun kesalahan yang terjadi pada laporan keuangan PT Wijaya Karya Tbk hanya pada perbedaan pos dan nilainya juga tidak signifikan, tetapi tetap saja mempunyai dampak yang berarti. Laporan keuangan perusahaan yang sudah dibuat harus direvisi kembali dan hilangnya kepercayaan pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan diantaranya para investor.
Kesalahan juga bisa saja dilakukan oleh auditor internal PT Wijaya Karya Tbk itu sendiri. Auditor internal adalah pegawai yang bertugas membantu manajemen perusahaan dalam pencegahan, pendeteksian, dan penginvestigasian kecurangan yang terjadi di suatu perusahaan. Kesalahan pencatatan laporan keuangan merupakan salah satu indikasi adanya kecurangan. Tetapi laporan audit yang dibuat oleh pihak auditor perusahaan juga belum terbukti kebenarannya, bisa saja auditor yang melakukan kesalahan dalam pemeriksaan laporan keuangan PT Wijaya Karya Tbk. Seorang auditor internal harus mempunyai kompetensi pengetahuan, keahlian, dan pengalaman audit sehingga kecil kemungkinan ia melakukan kesalahan. Selain itu objektif dalam menilai setiap kondisi, tidak membela kepentingan pihak manapun. Disamping itu pelaksanaan audit harus sesuai dengan standar audit yang telah ditetapkan.