Aku ingin berbagi cerita mengenai pengalamanku terkait buruknya pelayanan kesehatan di Indonesia. Aku adalah anak kos-kosan yang hidup jauh dari orang tua. Sebagai anak rantau, teman-teman kos merupakan keluarga terdekat. Suatu malam saat jam menunjuk angka 11, seorang teman terdekatku, sebut saja namanya dien, tiba-tiba muntah yang disusul diare. Hal itu terjadi berulang-ulang. Aku takut dan bingung. Aku berusaha membantu sebisaku. Aku buatkan teh panas, mengolesi badannya dengan minyak kayu putih, dan berusaha menghubungi keluarganya di rumah. Oleh keluarganya, disarankan agar aku memanggil dokter terdekat. Ternyata, dokter yang dihubungi tidak bisa datang dengan alasan sudah tengah malam dan di luar juga sedang hujan deras. Aku lihat wajah temanku yang sedang menahan sakit, betapa ia merintih sangat kesakitan. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk meringankan atau mengobati rasa sakitnya. Aku hanya bisa menjaganya, menemani bila ia mau muntah atau diare ke kamar mandi. Jam dinding sekarang sudah menunjuk angka 3. Aku yang belum tidur, tidak merasakan kantuk sama sekali. Padahal besok pagi jam 9, aku ada kuliah. Akhirnya, setelah adzan subuh, aku dan seorang teman lagi membawa dien ke sebuah rumah sakit pemerintah. Kami berboncengan 3 orang. Aku duduk paling belakang menjaga dien agar tidak terjatuh. Di perjalanan ke rumah sakit yang disertai hujan itu, motor tiba-tiba mogok. Beruntung ada teman lain yang mau meminjami motornya. Kami bertiga sama-sama tidak tahu jalan ke arah rumah sakit. Berbekal tanya sana-sini, lega juga akhirnya kami tiba di rumah sakit, meskipun dalam keadaan basah kuyup. Dien langsung masuk ke Instalasi Gawat Darurat(IGD). Dia tidak langsung diperiksa karena kami harus mendaftar dulu. Seorang dokter laki-laki yang sudah tua kemudian menanyakan apa saja keluhannya. Setelah menerima penjelasan, dugaan sementara dari dokter bahwa dien terkena usus buntu yang sudah parah. Betapa terkejutnya kami semua, karena selama ini dien pun tidak tahu. Perutnya sejak dulu memang sering sakit, dia juga pernah sampai pingsan, tapi oleh semua orang itu dianggap sepele sebagai penyakit mag. Untuk lebih memperkuat dugaannya, dokter menyuruh perawat mengambil darah untuk dites di laboratorium. Saat pengambilan darah, terlihat bahwa perawat kurang kompeten dan ahli. Dien merasa sakit karena jarum ditusuk sampai 4 kali di tempat yang berbeda baru darah bisa diambil. Ternyata benar dugaan dokter, hasil lab menunjukkan bahwa dien positif usus buntu. Dan hal yang benar-benar membuat kami semua takut dan terpukul adalah bahwa dien harus di operasi segera, saat itu juga. Kami bertanya bagaimana kalau operasinya ditunda sampai besok karena menunggu orang tuanya datang dari luar kota. Dokter bilang terserah kalau mau nyawa dien terancam, karena sewaktu-waktu usus buntunya bisa pecah dan bisa menyebabkan kematian. Saat itu pikiran kami kalut, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Operasi juga tidak gampang karena taruhannya nyawa, dan sebelum di operasi kami harus membayar sejumlah uang dulu. Saat itu orang tuanya dien belum bisa mengirim uang, sehingga teman kami sampai mencari siapa saja yang bisa meminjami uang agar dien bisa segera dioperasi. Beruntung setelah membayarkan uang, siangnya dien dioperasi. Alhamdulilah operasinya berjalan lancar. Dalam masa perawatan, dien menginap di rumah sakit selama lebih kurang seminggu. Ia dijaga oleh ibu dan kakaknya. Selama di rumah sakit, dien diperlakukan kurang baik. Dia tidak mendapat senyum dan tidak merasakan keramahan dari perawat. Terlihat bahwa perawat bekerja dengan terpaksa dan seenaknya. Saat memasang infus pun, menusuk jarum sampai beberapa kali di tangan dien. Hal itu sangat tidak pantas dan tidak seharusnya dilakukan oleh seorang yang seharusnya ahli dalam bidangnya.
Cerita berikutnya datang dari pacar temanku, Bono namanya. Dia sudah beberapa hari sakit, muntah terus-menerus sampai lemas. Awalnya dia tidak begitu peduli karena dianggapnya sakit biasa, cuma masuk angin. Dia mengira cukup diperiksa oleh dokter umum di apotek, diberi obat, tidur, kemudian sembuh. Ternyata tidak demikian yang terjadi. Sakitnya semakin parah. Badannya mulai panas dan menggigil. Teman sekamarnya kemudian membawa Bono ke sebuah rumah sakit pemerintah karena kemungkinan Bono terkena gejala demam berdarah. Seharusnya dengan melihat kondisi pasien yang lemah, seorang tenaga medis meminta pasien agar mau dirawat. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, perawat justru menyuruh Bono untuk pulang. Saat teman Bono protes karena tidak tega melihat temannya yang kesakitan, si perawat malah bilang kalau Bono itu manja. Setelah Bono memberikan uang, barulah si perawat mau menyiapkan kamar. Perlakuan perawat semacam itu sangat tidak dibenarkan. Tidak semua orang yang sakit memiliki cukup uang untuk berobat. Orang yang sedang kesakitan harusnya kita bantu, bukannya menambah kesulitan mereka.
Aku juga punya cerita lain. Ini benar-benar pengalaman pribadi. Aku pernah sakit. Tadinya hanya berupa benjolan merah di ibu jari kaki. Lama-lama menyebar bengkak kemerahan di mata kaki, pergelangan kaki, lutut, bahkan sampai di siku tangan. Saat malam hari merupakan puncak rasa sakit. Sendi terasa kaku saat bangun tidur dan badan sulit digerakkan. Untuk berjalan saja butuh penyangga. Ini sangat mengganggu kuliah dan aktivitas sehari-hari. Kuputuskan untuk periksa di dokter umum di apotek. Beliau menyuruh untuk tes asam urat, dan hasilnya masih normal. Dokter tidak bisa menyimpulkan dengan pasti, beliau hanya mengatakan penyakitku termasuk jarang dan menyarankan agar aku menemui dokter spesialis penyakit dalam. Yang kurasakan setelah itu bingung dan takut. Setelah memiliki cukup uang, aku memberanikan diri pergi ke rumah sakit pemerintah yang paling dekat dengan kos. Sebelumnya aku sudah mengecek jadwal praktek dokter spesialis penyakit dalam lewat internet. Jujur saja tidak ada prosedur yang jelas bagaimana alur pemeriksaan. Setelah mendaftar di resepsionis, aku disuruh menunggu di depan kamar praktek. Aku datang pertama kali sebelum orang-orang lain yang juga mau periksa berdatangan, jadi wajar kan kalau ku kira akulah orang yang akan diperiksa pertama. Betapa bingungnya karena bukanlah namaku yang pertama dipanggil. Dan kenyataannya justru aku yang datang pertama, mendapat giliran terakhir. Sungguh ironis sekali. Aku kecewa dan bertanya-tanya dalam hati, apa penyebab mereka yang datang setelah aku tetapi mendapat giliran sebelum aku. Itu kan tidak adil. Saat namaku dipanggil, aku bukannya dipersilakan masuk ke ruang praktek tetapi ke sebuah ruangan lain. Aku harus menjalani pemeriksaan tekanan darah dulu. Setelah itu menunggu di tempat yang tadi. Akhirnya namaku dipanggil juga, aku dipersilakan masuk ruang praktek. Ada seorang dokter laki-laki yang sudah tua beserta seorang perawat. Tidak ada sama sekali keramahan yang kudapat. Muka keduanya dingin dan tidak menyenangkan. Kuceritakan semua keluhanku. Dokter tidak banyak bicara apa-apa, bahkan hampir tidak berkomunikasi denganku. Beliau hanya mengatakan seperlunya padaku dan perawat. Kemungkinan sementara adalah gejalaku mirip rematik jantung. Aku sangat takut sekali, aku berharap itu salah. Aku berharap memperoleh penjelasan yang detil, akurat, dan jelas tentang apa itu rematik jantung. Sayangnya itu hanya harapan kosong. Dokter memberi beberapa lembar kertas untuk bermacam-macam cek darah di laboratorium yang harus kujalani dan rincian biaya. Nanti kalau sudah ada hasilnya, disuruhnya lagi ku kembali ke ruang praktek ini. Sambil menunggu hasil tes lab, aku membayar sejumlah biaya di loket pembayaran. Ternyata untuk tes laboratoriumnya yang mahal. Aku sempat berpikir bagaimana kalau orang miskin yang sakit, untuk makan saja susah apalagi untuk berobat. Hasil tes lab pun keluar. Aku segera membawanya ke dokter. Dokter mengatakan bahwa aku tidak terkena rematik jantung tetapi rematik biasa. Penyebabnya adalah antibodi yang seharusnya menyerang virus dan benda-benda asing yang masuk ke tubuh sangat aktif sehingga malah menyerang balik tubuh sendiri. Aku mencoba menggali informasi lebih banyak lagi tetapi Dokter tidak mau mengatakan apa-apa lagi. Dokter kemudian memberikan resep obat yang harus kutebus. Bahkan obat pun juga mahal. Bersyukurlah aku masih bisa membeli obat, banyak orang miskin di luar sana yang mungkin tidak mampu memmbeli obat. Sungguh kasihan. Seharusnya uang rakyat yang dikorupsi para pejabat bisa digunakan untuk mensubsidi obat-obatan untuk rakyat miskin. Obat dari dokter kuminum sesuai petunjuk dan sampai habis. Seminggu kemudian aku kontrol lagi ke rumah sakit. Bengkak di kaki masih ada, nyeri juga masih. Dokter masih saja tidak memberikan penjelasan yang detil tentang penyakitku. Dokter tetap memberi resep obat yang sama dari kemarin, cuma frekuensi minumnya yang diganti. Setelah obat habis, meskipun masih nyeri dan ada bengkaknya, sudah kuputuskan aku tidak mau ke tempat dokter lagi. Aku tidak mau minum obat lagi. Aku tidak mau tergantung dengan obat-obatan seumur hidup. Karena ternyata, obat dari dokter belum ada yang bisa menyembuhkan rematik. Obat tersebut hanya berfungsi meringankan rasa nyeri. Sikap dokter yang tidak banyak bicara juga akhirnya terjawab. Dokter bicara banyak atau sedikit sesuai tarifnya. Dokter pemerintah tarifnya lebih murah dari swasta, sehingga pelayanan dari dokter swasta lebih bagus dan memuaskan. Walaupun kakiku tidak kuat untuk berjalan jauh seperti dulu, sakit saat naik tangga, dan terasa kaku saat bangun tidur, Aku tidak mau kembali ke dokter lagi. Aku sekarang beralih ke pengobatan tradisional yang lebih aman seperti minum sereh dan terapi jalan di batu-batu.
Berikutnya pengalaman dari ibunya temannya temanku, bernama Bu Abud. Bu Abud bekerja sebagai seorang pegawai negeri sipil. Selama berpuluh tahun beliau kerja, selama itu pula beliau rutin mendonorkan darah setiap bulan di pusat darah. Beliau mendonorkan darahnya dengan ikhlas karena ingin sedikit lebih berguna untuk orang lain. Beliau juga tidak pernah berpikiran buruk sama sekali apakah darahnya memang disalurkan melalui pihak yang tepat atau bukan. Suatu hari anak beliau yang tidak lain temannya temanku, sebut saja Abud, mengalami kecelakaan. Ia kehilangan banyak darah dan membutuhkan segera transfusi darah. Sayangnya stok darah di rumah sakit sedang habis. Ibu Abud kemudian berpikir selama puluhan tahun ia pendonor tetap di pusat darah, harapannya di sana ada cukup darah untuk putranya yang sedang sekarat. Sayang harapan tinggal harapan. Setibanya di pusat darah, bukanlah darah yang ia dapat tapi sakit hati dan kecewa. Meskipun Bu Abud pendonor tetap tetapi petugas mengatakan bahwa tidak ada darah yang tersedia untuk putranya yang sekarat. Parahnya lagi petugas menjanjikan bahwa darah akan diberikan jika Bu Abud bersedia membayar sejumlah uang jutaan rupiah. Dengan perasaan terluka dan marah, Bu Abud menyanggupi membayar uang tersebut demi putranya. Saat itu dalam benaknya ia bertekat tidak mau mendonorkan darahnya lagi, karena ternyata selama ini darah yang ia sumbangkan dengan ikhlas di perjualbelikan demi keuntungan sendiri. Bagaimana dengan nasib orang miskin yang sekarat, yang memerlukan tranfusi darah secepatnya tetapi tidak punya uang? Kenapa selalu orang miskin yang jadi korban? Apakah orang miskin tidak boleh sakit dan hanya orang kaya yang boleh?
Dari berbagai gambaran diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pelayanan kesehatan di Indonesia masih buruk. Hanya mereka yang berkantong tebal saja yang mendapat pelayanan memuaskan, sedangkan kalangan mayoritas yang merupakan masyarakat menengah ke bawah harus menikmati pelayanan dengan standar yang pas-pasan. Dengan prosedur yang tidak jelas dan sangat kompleks dimanfaatkan oleh petugas untuk meminta pungutan tambahan sehingga biaya pelayanan kesehatan menjadi mahal. Aparat juga kurang profesional, kurang menghargai etos kerja, dan tidak ada iktikad baik dalam penyelenggaraan tugasnya. Begitu juga respon yang kurang dari petugas kesehatan terhadap sejumlah keluhan, saran, dan aspirasi masyarakat mengakibatkan pelayanan yang diberikan apa adanya dan tanpa perbaikan yang berarti. Pemerintah seharusnya perlu menetapkan standar pelayanan yang baku, berupa syarat, prosedur, sarana dan prasarana pelayanan, serta waktu dan biaya pelayanan.